MAKASSAR, BANGSAKU.CO – Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek Pembangunan Industri Persampahan berbasis Waste To Energy (WTE) di Kelurahan Tamalanrea Jaya, Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar pada masa kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) memasuki babak baru.
Kejari Makassar mengungkapkan kasus yang dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2012, 2013 dan 2014 ini sudah masuk dalam permintaan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) di Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP).
“Sekarang sementara permintaan perhitungan kerugian negara di BPKP,” kata Kepala Seksi Intel Kejari Makassar, Andi Alamsyah, Selasa (5/9/2023).
Permintaan penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan yang mulai dilakukan Kejari Makassar ini menunjukkan bahwa sudah ada calon tersangka dalam kasus tersebut.
“Iya (nama calon tersangka sudah dikantongi). Insya Allah kami kabari kalau sudah ada penetapan tersangka,” jelasnya.
Penggiat Anti Korupsi, Djusman AR meminta ketegasan Kejari Makassar untuk segera memutuskan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan dimasa IAS menjadi Wali Kota Makassar, karena termasuk cukup lama dalam pengungkapan tersangka.
“Artinya yang kami nanti kan adalah ketegasan Kajari termasuk penyidik yang lain itu segera menuntaskan kasus tersebut, karena kasus itu tidak boleh berlarut-larut lah,” tegas Djusman AR yang juga Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar, itu.
Apalagi, kata dia kasus ini sudah berlarut-larut hingga berganti Kajari dan penyidik tapi terkesan jalan di tempat. Menurutnya, pengusutan kasus korupsi seharusnya mengedepankan asas cepat dan prioritas.
“Itu kan sudah berulang kali berganti Kajarinya, yang pasti kami ingin ingatkan Kajari dan penyidik bagaimana menindaklanjut satu perkara khusus senantiasa menjunjung tinggi asas-asas cepat dan prioritas,” ujar Djusman AR yang dikenal sebagai Direktur Lembaga Peduli Sosial Ekonomi Budaya Hukum dan Politik (LP-SIBUK) Sulsel, itu.
“Dan bagaimana penanganan perkara itu apalagi kasus itu sudah naik di penyidikan, kita tidak inginkan jangan lagi istilah calon tersangka, artinya bahasa itu sebenarnya tidak tepat yang disampaikan APH,” sambungnya.
Lanjut Djusman AR, yang diketahui Koordinator Forum Komunikasi Lintas (FoKaL) Non Governmental Organization (NGO) Sulawesi itu, menegaskan bahwa kasus dugaan korupsi pembebasan lahan ini sudah diketahui oleh masyarakat, sehingga dorongan kepada aparat penegak hukum (APH) untuk pengungkapan penetapan tersangka terus dilakukan.
“Tidak boleh itu ada APH mengumbar statement kendala-kendala, tidak ada profesi yang tidak ada kendalanya apalagi fungsinya sebagai APH dalam hal ini kejaksaan itulah tantangannya, memang sudah jadi tanggungjawab nya. Yang pasti masyarakat menanti kapan penetapan tersangka, kapan sampai ke meja hijau,” tuturnya.
Menurutnya, kasus ini sudah tentu yang berpotensi menjadi tersangka ialah pejabat pada masanya, karena mereka yang mempunyai kewenangan dalam proyek tersebut.
“Yang pasti kalau berkaitan dengan pembebasan lahan itu sangat potensial itu pejabat terlibat, ada banyak lah kasus kemarin contoh-contoh, sebenarnya disitulah seninya itu sebagai penyidik mengungkapkan semuanya itu,” ungkap Djusman.
Olehnya itu, ia berharap agar dugaan korupsi pembebasan lahan ini dapat diumumkan penetapan tersangka sebelum Kajari Makassar berganti seperti sebelumnya.
“Setiap kasus yang masuk itu jangan sampai berganti penyidik nya begitu pun kajari tapi kasus belum tuntas. Pimpinan itu bukan jadi salah satu alasan tuntaskan perkara,” pungkasnya.
Diketahui biaya Rp70 miliar lebih tersebut digunakan untuk pembebasan lahan persampahan seluas 12 hektare di Kelurahan Tamalanrea Jaya, Kecamatan Tamalanrea. Namun, belakangan lahan tersebut bermasalah lantaran tak dapat disertifikatkan oleh Pemerintah Kota Makassar. Kemudian anggarannya habis dan lahan yang telah dibayarkan tak jelas statusnya.
Kasus tersebut awalnya ditangani Bidang Intelijen Kejari Makassar dan dilimpah ke Bidang Pidsus pada Desember 2021 lalu.
Adapun dari hasil penyelidikan saat itu, ditemukan sejumlah fakta yang mengejutkan bahwa dalam kegiatan pembebasan lahan di era kepemimpinan IAS diduga kuat bermasalah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun berdasarkan hasil pemeriksaan saat itu, saksi dari pihak BPN Kota Makassar mengungkapkan jika pihaknya tak pernah dilibatkan dalam proses pengadaan tanah.
Sementara menurut ketentuan Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan Umum dan Peraturan Kepala BPN RI No. 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah, seharusnya Kepala Kantor Pertanahan setempat dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar bertindak selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Jadi pemerintah kota di bawah kepemimpinan IAS melakukan pengadaan tanah sendiri tanpa melibatkan BPN. Padahal seharusnya BPN dilibatkan selaku Ketua Pengadaan Tanah sebagaimana regulasi yang ada.
Selain itu dalam pelaksanaan pengadaan tanah diduga tidak melibatkan jasa penilai atau penilai publik untuk menilai besaran ganti kerugian yang akan nantinya dibayarkan oleh instansi yang memerlukan tanah. Jasa penilai atau penilai publik tersebut ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Sehingga penetapan jasa penilai atau penilai publik diduga tidak pernah ada, karena dalam kegiatan ini, juga diduga tidak ada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah yang dilibatkan, apalagi diketuai oleh Kepala Kantor BPN Kota Makassar.
Fakta lainnya dari hasil penyelidikan oleh tim Intelijen Kejari Makassar saat itu ditemukan bahwa pemerintah pernah mengajukan permohonan untuk sertifikasi lahan yang telah dibebaskannya kepada BPN Kota Makassar berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Pemkot Makassar.
Namun, permohonan tersebut ditarik kembali karena Pemkot Makassar tak dapat menunjukkan batasan-batasan lahan yang sebenarnya yang telah dibebaskan.
Sehingga, sampai saat ini, Pemkot Makassar belum dapat menyertifikatkan lahan yang telah dibebaskannya tersebut. Bahkan pencabutan atau mematikan bukti hak milik dari pemilik tanah yang telah dibebaskannya itu ini juga belum dapat dilaksanakan. (ink)