OPINI : Prinsip Kepemimpinan Muhammadiyah
(Catatan untuk Musywil Muhammadiyah Sulsel)
Oleh : Fajlurahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan warga Muhammadiyah
BANGSAKU.CO – Sejak selesai Muktamar akhir tahun lalu, Muhammadiyah di semua daerah terus melakukan suksesi. Ada desakan untuk me-refresh kepemimpinan, agar tidak berusia lama. Pandemi Corona telah memperpanjang usia kekuasaan di hampir semua level. Kebijakan ini diambil untuk lebih mengutamakan maslahat agar terhindar dari Corona, daripada harus memaksa mengganti kepemimpinan, sementara ancaman penyakit yang mematikkan itu menghantui tiap orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Minggu lalu, Pemuda Muhammadiyah selesai melakukan muktamar di Balikpapan. Hasilnya adalah putra SulSel terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat. Sekarang giliran induknya di Sulsel, yakni Pimpinan Wilayah yang melakukan suksesi kepemimpinan.
Tentu saja, dalam suksesi kepemimpinan, hiruk-pikuk dan desas desus pasti terjadi. Dialektika dan pertentangan tak dapat dihindari. “Seteru” terbuka dan “tertutup” kerap kali terjadi. Tetapi Muhammadiyah sejak dulu, membangun kultur suksesi yang bersahabat. Bahwa kekuasaan itu amanah, siapapun yang diberi mandat, ia harus siap tanpa perlu merasa menang, dan yang tidak terpilih, tetap “memiliki” Muhammadiyah tanpa harus tersingikir.
Di Muhammadiyah, setiap orang diajarkan untuk ikhlas dalam situasi apapun. Karena Keikhlasan inilah yang menyebabkan banyak orang Muhammadiyah menggunakan uang pribadinya membangun sekolah, lalu menyerahkan tanpa syarat sekolah itu kepada Muhammadiyah. Beberapa orang membangun perguruan tinggi, lalu menyerahkan tanah dan bangunan itu menjadi milik Muhammadiyah. Orang-orang Muhammadiyah saling bergembira, baik saat susah maupun senang. Mereka diajarkan untuk ikhlas tiada tara.
Pergantian kekuasaan, sejatinya adalah upaya untuk menata manajemen dan merevitalisasi niat mereka yang memimpin Muhammadiyah. Karena kadang, tiap periode, selalu wajah yang sama yang memimpin Muhammadiyah. Meskipun demikian, tidak ada upaya dari yang lain untuk mendongkel. Rasa ikhlas dan tidak enak antara sesama warga Muhammadiyah, membuat sikap saling menerima lebih didahulukan ketimbang saling menegasikan.
Tentu saja, sebagai arena dan ruang bagi semua kader dan warga untuk mengekspersikan harapannya, Musywil patut juga diberikan catatan ringan, agar semua kita bisa belajar, bahwa ini bukan saja tentang siapa yang menduduki posisi apa, tetapi seberapa jauh adaptasi gerakan sosial dan keagamaan Muhammadiyah dikendalikan oleh individu yang paling baik diantara yang baik. “Primus interpares”.
Pertama, Kepemimpinan yang terpilih adalah kemimpinan yang memastikan bahwa Muhammadiyah tetap berada ditengah garis politik. Muhammadiyah berdiri di barisan politik nilai, menjaga moralitas politik dan tidak menerabas masuk terlalu jauh ke dalam hingar-bingar politik praktis.
Kedua, Kepemimpinan masa depan adalah kepemimpinan yang cepat beradapatasi dengan waktu dan perubahan yang kian tak terkendali. Gerakan sosial dan keagamaan modern, mengandalkan adaptasi dan kecepatan bergerak, sebagai manifestasi dari tuntutan zaman yang terus berubah. Cara-cara konservatif tidak dapat lagi dijadikan sebagai kekuatan gerakan. Perlu terus-menerus belajar dan berbenah, agar Muhammadiyah bisa menjadi lokomotif perubahan sosial ditengah gelombang perubahan zaman yang tak henti berputar.
Ketiga, Kepemimpinan yang lahir dari hasil Musywil haruslah kepemimpinan yang kolaboratif. Kepemimpinan kolaboratif adalah kepemimpinan yang mampu bekerjasama dalam berbagai medan, situasi dan dengan semua orang. Untuk mendorong kepemimpinan kolaboratif ini, maka Musywil harus menghasilkan beberapa prinsip: (1) struktur kepemimpinan harus kombinasi antara generasi tua dan muda. Generasi tua perlu untuk menjaga stabilitas nilai-nilai yang dianut oleh Muhammadiyah. mereka diharapkan bertindak sebagai penjaga langgam tradisi Muhammadiyah. Sementara generasi muda diperlukan untuk merespons cepat dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. (2) Musywil harus menghasilkan pengurus yang bisa membangun jaringan keluar dari lingkaran Muhammadiyah. Dengan kekuatan jaringan itu, Muhammadiyah bisa terus berkolaborasi dengan elemen-elemen non Muhammadiyah.
Keempat. Kepemimpinan nanti harus berani mengevaluasi pengurus majelis yang keberadaannya antara hidup dan mati. Saya salah satu warga Muhammadiyah biasa, tetapi hampir tiap hari ada di kantor Muhammadiyah Wilayah, dan menyaksikan, majelis-majelis kebanyakan, selain hampir tidak pernah berkantor, juga tidak pernah berkegiatan. Dikecualikan untuk beberapa Majelis dan lembaga, yang diurus oleh beberapa anak muda. Tentu ini memprihatinkan. Jika tidak berbenah, maka pengurus hanya pajang nama, menambah biodata, lalu tak ada jejaknya.
Kelima, semua orang harus bergembira dalam Musywil ini. Warga Muhammadiyah tidak boleh membangun sekat dan primordialisme. Si ini dan si Itu berdasarkan sentimen daerah, angkatan dan dari Ortom mana. Semua harus melebur bersama, melaju seiring-sejalan, menuju satu tujuan, masyarakat yang dicita-citakan Muhammadiyah, yang “baldatun toyibatun warabun gafur”. Tidak ada lagi “kau” dan “aku”, tetapi harus melebur menjadi “kita” warga Muhammdiyah. Gak ada lagi kata “mereka”, karena kata mereka lenyap dengan “kita”. Itulah Muhammadiyah otentik. Itulah Muhammadiyah yang kita cita-citakan.
Keenam, saya tidak menyinggung rangkap jabatan dalam tulisan ini, karena ternyata itu terlalu sensitif untuk di diskusikan, karena sebagian masih menghendaki rangkap jabatan itu sebagai bagian dari “amal dan lahan dakwah”. Semoga niatnya memang demikian, bukan mencari makan di Muhammadiyah.
Dengan prinsip dasar dan catatan ringan ini, saya berharap, bahwa Musywil menghasilkan kepemimpinan yang kuat, kolaboratif dan menjunjung tinggi kesetaraan.
Wallahu a’lam bishowab.