Oleh : Dian Novitasari
(Mahasiswa Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas)
OPINI – BANGSAKU.CO – Pada tahun 2045 indonesia akan mengalami masa emas, dalam mewujudkan indonesia emas di tahun 2045 adalah generasi muda saat ini yang menjadi sumber daya manusia Indonesia.
Namun fakta saat ini kita ditantangan dengan berbagai macam permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan sosial kita. Berbicara tentang tumbuh dan berkembangnya seorang anak dapat dilihat bagaimana seorang anak tumbuh dan berkembang dengan mendapatkan hak dan kewajibannya, seperti hak untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua, hak mendapatkan perlindungan, hak di perlakuan secara adil, hak mendapatkan pakaian makanan dan tempat tinggal, hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh kesejahteraan, hak memperoleh perlindungan dan keamanan dan masih banyak lagi.
Serta kewajiban seorang anak apa saja, seorang anak berkewajiban untuk berbakti kepada ke dua orang tuanya, kewajiban untuk mendengarkan nasihat, kewajiban untuk membantu orang tua, kewajiban untuk meminta izin kepada orang tua ketika hendak pergi dan lain-lain.
Namun, sebagian orang tua kadang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menikahkan seorang anak yang masih terbilang sangat muda untuk melakukan sebuah pernikahan. Selanjutnya apa yang terjadi jika hak dan kewajiban ini tidak berjalan seimbang, ada pun dampak yang ditimbulkan tidak lain salah satunya adalah menimbulkan ketidak adilan bagi seorang anak.
Bagaimana agar dalam suatu keluarga, kelompok atau organisasi yang mencakup tentang kesehatan masyarakat untuk mencapai suatu keadilan, salah satunya antara lain adanya kesetaraan gender. Untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan, berati kita tidak lepas dari tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dimana kita ketahui bersama bahwa tujuan dari Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan peran g ender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.
Melihat kondisi sosial di masyarakat saat ini, target dari mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan, yaitu untuk menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.
Fakta saat ini dikalangan masyarakat sering kali kita menjumpai anak atau pun remaja perempuan mau pun laki-laki dibawah usia 16 tahun melakukuan pernikahan, berbagai dampak yang akan terjadi terutama dari remaja perempuan yaitu melahirkan bayi premature dan stunting, resiko kematian pada ibu yang melahirkan di usia yang belum cukup, gangguan psikologis, serta kehilangan kesempatan dalam melanjutkan pendidikan serta rentang akan perceraian.
Pada tahun 2020 terjadi peningkatan pernikahan usia dini dan setiap tahunnya mencapai 14,2 juta, kemudian pada tahun 2030 diperkirakan pertahunnya mencapai 15,1 juta. Berdasarkan Riskesdas (2021), angka perempuan menikah usia 10-14 sebesar 4,2 persen, sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8 persen. Menurut Unicef tahun 2020, badan peradilan agama mencatat sebanyak 1.220.900 anak Indonesia melakukan pernikahan dini di tahun 2018.
Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa sekitar 10 juta anak usia dibawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18 tahun.
Menurut data World Health Organizattion (WHO) menunjukkan bahwa sebanyak 16 juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15-19 tahun atau 11% dari seluruh 3 kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara berkembang. Permasalahan pernikahan usia dini saat ini sudah menjadi permasalahan dunia. Data UNICEF (United Nations Children’s Fund) menunjukkan lebih dari 700 juta perempuan menikah saat usia anak-anak bahkan 1 dari 3 diantara perempuan yang menikah usia dini menikah pada usia sebelum 15 tahun.
Disulawesi selatan sendiri kurang lebih 30 ribu kasus pernikahan dini, yang dimana salah satu faktor utama masih tingginya angka perkawainan dini disebabkan faktor budaya masyarakat yang masih berprilaku menjodohkan anaknya. Sulawesi selatan berada pada urutan ke-5 untuk angka perkawinan dibawah 15 tahun.
Dampak terbesar dari pernikahan dini dan pernikahan paksa adalah eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai istri didalam rumah tangga. Penyebabkan terjadinya pernikahan dini yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu karena adanya faktor ekonomi, pernikahan dini terjadi karena hidup digaris kemiskinan sehingga untuk meringankan beban orang tuanya maka anaknya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu, faktor pendidikan, dimana karena rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak, dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang masih dibawah umur, faktor orang tua, orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya, faktor Media Massa dan Internet, gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks, faktor adat, perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan, dan faktor hamil diluar nikah terjadi karena mudahnya mengakses video-video porno sehingga remaja merasa penasaran.
Melihat kondisi kesehatan yang terjadi di masyarakan saat ini, dengan kejadian kasus pernikahan dini disetiap tahunnya terjadi peningkatan secara singnifikan, sebagai salah satu upaya kita dalam mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan adalah dengan meningkatkan kualitas peran orang tua dan atau keluarga dalam mendidik, mengasuh dan membesarkan seorang anak agar tumbuh dan berkembang serta mampu berpikir positif dalam mengambil keputusan agar seorang anak tidak terjerumus dalam hal-hal negative. Peranan aktif keluarga dan lingkungan sangat berkontribusi besar dalam membentuk karakter serta lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak dan remaja dalam mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai sorang anak.
Pernikahan anak dibawah umur merupakan pelanggaran hak anak. sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak mempunyai hak yang harus dilindungi, dijamin, dan dipenuhi oleh orang tuanya sendiri, termasuk dijamin oleh masyarakat di tempat ia tumbuh dan berkembang, juga pemerintah dan Negara.
Hak kebebasan anak dalam memilih dan menentukan kehidupannya dirampas sejak masih kecil, ketika adanya perjodohan sejak anak-anak. Kebanyakan dari mereka diperintah untuk segera menikah oleh orang tuanya dengan alasan mematuhi hukum adat-istiadat yang ada sejak jaman nenek moyang dan anjuran agama. Peraturan kebijaka inilah yang harusnya di perkuat oleh pemerintah dalam mengurangi dan menurunkan angka kejadian kasus pernikahan dini yang banyak terjadi di lingkungan sosial masyarakat.